JAKARTA - Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu mendesak
Komisi Pemberantasan Korupsi dan aparat
penegak Hukum untuk turun dan menginvestigasi adanya dugaan tindak pidana
korupsi di PTDI yang merugikan negara.
"Kemarin
pengurus FSP BUMN Bersatu sudah bertemu dengan KPK Terkait dokumen dokumen
dugaan korupsi di PTDI," ujar Ketua Harian FSP BUMN Bersatu, Prakoso Wibowo
dalam siaran pers yang diterima Wartawan, Kamis, (9/03/2016).
Prakoso pun
membeberkan dugaan kerugian negara di PTDI yang diduga ada tindak pidana
korupsi. Hingga saat ini pengelolaan PTDI yang kurang profesional diduga
berpotensi menyebabkan kerugian negara di PT. Dirgantara Indonesia sebesar Rp.8
miliar dalam 24 kasus.
Selain
potensi kerugian negara sebesar Rp.8 miliar, perusahaan BUMN plat merah
ini juga bakal terus merugi lantaran adanya kewajiban PT. DI yang harus
membayar denda akibat keterlambatan dalam pekerjaan. Dimana, pada audit BPK
tahun 2015 ditemukan denda keterlambatan pekerjaan pengadaan barang dan jasa di
TNI AL (Angkatan Laut).
Pada tahun
2011, kata Prakoso, TNI AL memberikan pekerjaan pengadaan Helikopter Bell.412EF
tahap II dengan nilai Rp.220 Miliar oleh PT. Dirgantara Indonesia. Dalam
pekerjaan ini, PT. Dirgantara sudah dibayar Rp.212.415.954.199 atau 96 persen.
Tetapi pekerjaan atau kemajuan fisik baru 20 persen.
Menurut
Prakoso, dari Kontrak Pesawat Terbang/Helikopter yang Berasal dari Dana APBN
Untuk pemesanan Helikopter Beel 412 EP oleh Kemenhan terdapat perbedaan
penentuan imbalan (fee) kepada mitra penjualan PTDI, padahal helikopter yang
dipesan sama dan pembeli yang sama, yaitu Kemenhan tetapi untuk pengguna yang
berbeda, yaitu TNI AD dan TNI AL.
PTDI
memberikan fee kepada BTP sebesar 5% dari total kontrak Helikopter Beel
412EP beserta perlengkapannya untuk TNI AD. Dimana PTDI memberikan fee kepada
BTP sebesar 7% dari total kontrak Helikopter Beel 412EP beserta perlengkapannya
untuk TNI AL. Akibatnya
“Denda yang
harus dibayar oleh PT. DI sebesar Rp.3.357.999.942,” jelasnya.
“Uang negara
mereka ambil atau terima, tapi seperti males-malesan untuk menyelesaikan
pekerjaan pesanan TNI AL dan pada saat yang sama TNI AU juga memesan
helikopter Super Puma untuk memenuhi rencana strategis (renstra) pertahanan
tahun 2009-2014. Tetapi realisasinya, TNI AU baru menerima sembilan dari 16
unit helikopter Super Puma yang dipesan, "tegasnya
Lanjut
Prakoso, walau TNI AU hanya menerima sembilan Helikopter super puma dari 16
unit yang dipesan, tapi pengiriman tidak tepat waktu sehingga mengganggu
proses operasional. Dan sisa 7 unit lagi, dibiarkan saja oleh TNI AU.
Dilihat dari
kasus tersebut, Prakoso menilai bahwa tindakan Direksi PTDI yang memberikan fee
kepada mitra penjualannya itu telah menimbulkan biaya lebih besar terhadap
harga unit helikopter yang dibeli oleh Kemenhan (dengan dana APBN).
Sedangkan
Kemenhan seharusnya dapat membeli langsung ke PTDI (BUMN di dalam negeri) tanpa
adanya perantara atau mitra penjualan. Karena diduga harga yang ditawarkan ke
Kemenhan sudah termasuk biaya fee untuk mitra penjualan PTDI.
"Bahwa
kemudian adanya perbedaan besar biaya fee yang ditetapkan PTDI untuk mitra
penjualannya seharusnya tidak terjadi. Karena PTDI semestinya memilih mitra
penjualan yang menetapkan fee lebih rendah, terlebih untuk produk yang
sama," tegasnya.
Dengan
tindakan Direksi PTDI itu patut diduga telah memberi keuntungan kepada
orang lain, atau suatu korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan
keuangan negara.
"Direksi
PTDI adalah Penyelenggara Negara, sebagaimana dikualifikasi oleh ketentuan
Pasal 2 UU 28/1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme," imbuhnya seraya mengatakannhal itu
juga selaras dengan penjelasan Pasal 22 UU 28/1999, “Yang dimaksud dengan
"Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis"adalah pejabat
yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara.
"Kasus
yang telah meyebabkan kerugian negara dan diduga telah terjadi tindak pidana
korupsi Maka Direksi PTDI bisa dijerat dengan pasal 3 UU 31/1999
sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pasal 5 angka 4 juncto Pasal 21 UU 28/1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotism,"
pungkasnya.***(Muhammad Fahrozi/LKBK65).
_______
“MENGUTIP SEBAGIAN ATAU
SELURUH ISI PORTAL INI HARUS SEIZIN REDAKSI. HAK CIPTA DILINDUNGI
UNDANG-UNDANG”
______
Post a Comment